Beranda | Artikel
Cuplikan Faedah Ilmu Tauhid
Kamis, 26 Juni 2025

Tiga macam tauhid

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.

Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu, para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dan sebagainya. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu, hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa salat, sembelihan, doa, istighatsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.

Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu, seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.

Hakikat ajaran Nabi Ibrahim

Allah berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, “Hendaklah kamu mengikuti millah (ajaran) Ibrahim yang hanif, dan sama sekali dia bukan termasuk kalangan orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)

Di dalam ayat yang agung ini, Allah memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah, ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu ajaran tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya.

Ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah agama Islam yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul. Setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah menyebut ajaran Nabi Ibrahim sebagai ajaran yang hanif. Para ulama juga menyebut ajaran tauhid ini dengan istilah “Al-Hanifiyyah”. Inilah hakikat dari millah (ajaran agama) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan juga para rasul yang lain. Yang demikian itu karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang hanif, yaitu yang ikhlas beribadah kepada Allah.

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Orang yang hanif adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala -sesembahan- selain-Nya. Inilah hakikat orang yang hanif, yang menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, amal, niat, dan kehendaknya seluruhnya dipersembahkan kepada Allah, dan dia berpaling dari selain-Nya.” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)

Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Bukanlah Ibrahim itu orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas membantah klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku sebagai pengikut ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan tidaklah berada di atas ajaran dan agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim -di antara umat akhir zaman ini- kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya yang setia. Sehingga pengakuan kaum Yahudi atau Nasrani bahwa mereka berada di atas agama Nabi Ibrahim adalah dusta belaka! Silahkan baca keterangan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat tersebut.

Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid

Salah paham pada sebagian kalangan

Sebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu, mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).

Disebutkan oleh Syekh Al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.

Di antara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan semata. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu, para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.

Mengesampingkan dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.

Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?

Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah membawakan perkataan salaf mengenai tafsir ayat ke-25 dari surah Al-Anbiya’. Dari Qatadah, beliau mengatakan, “Para rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid …” (Lihat Tafsir Ath-Thabari untuk ayat tersebut di tautan ini)

Allah berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ

“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir), apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, yaitu wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)

Dakwah menuju tauhid

Allah berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang nyata). Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)

Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah: 1) dakwah kepada tauhid; 2) dakwah kepada agama-Nya; dan 3) dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (Lihat At-Tamhid, hal. 65)

Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama atau materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u (orang yang didakwahi) dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya (metode yang hikmah). (Lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 82)

Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)

Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid

***

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/106029-cuplikan-faedah-ilmu-tauhid.html